BINTANG LAUT MAHKOTA DURI (Acanthaster planci, ASTEROIDEA)
A. PENDAHULUAN
Bintang laut Acanthaster planci merupakan salah satu masalah besar yang potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara pemangsa karang yang ada, A. planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa oleh A. planci. Kerusakan terumbu karang akibat A. planci telah dilaporkan di seluruh dunia, misalnya Jepang, Australia, Palau, Guam, Vanuatu, Papua, Vietnam dan Indonesia. Walaupun peledakan populasi A. planci di Indonesia telah banyak dilaporkan secara lisan, publikasi tentang masalah ini masih sangat sedikit. Publikasi tentang A.planci yang tersedia banyak berasal dari Jepang dan Australia.
Di the Great Barrier Reefs (GBR), Australia, berdasarkan sisa-sisa duri dan kerangka di dalam sedimen diperkirakan bintang laut A. planci telah muncul di terumbu sekitar 3350 tahun yang lalu, walaupun tidak ada bukti kuat bahwa telah terjadi peledakan populasi yang menghabisi karang di terumbu sebelum tahun 1960-an (Moran et al. 1986). Peledakan populasi A. planci pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 di Green Island, GBR. Peledakan populasi di Jepang pertama kali dilaporkan pada tahun 1969. Bintang laut A. planci diperkirakan mulai memasuki perairan Jepang pada tahun 1957-58 dan melakukan pemangsaan karang yang serius sejak awal tahun 1970-an.
Kerusakan terumbu karang yang dapat ditimbulkan oleh A. planci sangat besar sehingga pengelolaannya membutuhkan dana yang besar pula. Di Rukyu Islands, Jepang, kehadiran A. planci telah menelan biaya JPY 600 juta untuk memusnahkan 13 juta bintang laut antara tahun 1970-1983 (Yamaguchi 1986). Di perairan sekitar Cairns-Whitsunday, GBR, peledakan populasi A. planci telah menelan biaya AUD 3 juta untuk pengendalian populasi selama setahun pada tahun 2001 (CRC 2003). Disamping itu, jutaan dollar dana juga telah dihabiskan untuk penelitian A. planci selama 17 tahun di GBR.
Di Indonesia, kehadiran A. planci telah dilaporkan sejak tahun 1970-an oleh para peneliti LIPI, misalnya di sekitar Ambon (Soegiarto) dan Kepulauan Seribu (Aziz and Soekarno) (review in Lane 1996). Kedua laporan tersebut menunjukkan adanya A. planci dalam jumlah kecil atau dalam kondisi masih kecil (belum dewasa). Peneliti LIPI lainnya, Darsono dan Sukarno, telah mengamati adanya populasi A. planci di Kepulauan Seribu dari tahun 1991-1993 dan dilaporkan tidak ada peledakan populasi (review in Tomascik et al. 1997). Peledakan populasi baru terjadi pada tahun 1995, yang dilaporkan di dalam suatu seminar, tetapi tidak dalam suatu publikasi. Publikasi ilmiah tentang kerusakan terumbu karang Indonesia akibat A. planci baru dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi di Kepulauan Banggai oleh Lane (1996). Pada tahun 1996 juga dijumpai adanya pemangsaan karang oleh A. planci yang menghabiskan hampir seluruh karang di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat, dan Pantai Bama, Taman Nasional Baluran (Bachtiar, unpublished data). Pada tahun 2005, peledakan populasi (outbreak) bintang-laut A. planci dilaporkan terjadi di Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan (Yusuf 2008).
Makalah ini dimaksudkan untuk menghimpun informasi yang tersebar di dalam jurnal dan buku tentang biologi dan ekologi bintang laut A. planci dan mencari solusi pengelolaannya. Rendahnya jumlah tulisan tentang A. planci menyebabkan rendahnya kepedulian dan antisipasi ancaman A. planci di dalam rencana pengelolaan terumbu karang. Ketika terjadi peledakan populasi di suatu terumbu karang, sebagian pemerintah dan masyarakat tidak tahu bagaimana cara penangannya.
Bintang laut Acanthaster planci merupakan salah satu masalah besar yang potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara pemangsa karang yang ada, A. planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa oleh A. planci. Kerusakan terumbu karang akibat A. planci telah dilaporkan di seluruh dunia, misalnya Jepang, Australia, Palau, Guam, Vanuatu, Papua, Vietnam dan Indonesia. Walaupun peledakan populasi A. planci di Indonesia telah banyak dilaporkan secara lisan, publikasi tentang masalah ini masih sangat sedikit. Publikasi tentang A.planci yang tersedia banyak berasal dari Jepang dan Australia.
Di the Great Barrier Reefs (GBR), Australia, berdasarkan sisa-sisa duri dan kerangka di dalam sedimen diperkirakan bintang laut A. planci telah muncul di terumbu sekitar 3350 tahun yang lalu, walaupun tidak ada bukti kuat bahwa telah terjadi peledakan populasi yang menghabisi karang di terumbu sebelum tahun 1960-an (Moran et al. 1986). Peledakan populasi A. planci pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 di Green Island, GBR. Peledakan populasi di Jepang pertama kali dilaporkan pada tahun 1969. Bintang laut A. planci diperkirakan mulai memasuki perairan Jepang pada tahun 1957-58 dan melakukan pemangsaan karang yang serius sejak awal tahun 1970-an.
Kerusakan terumbu karang yang dapat ditimbulkan oleh A. planci sangat besar sehingga pengelolaannya membutuhkan dana yang besar pula. Di Rukyu Islands, Jepang, kehadiran A. planci telah menelan biaya JPY 600 juta untuk memusnahkan 13 juta bintang laut antara tahun 1970-1983 (Yamaguchi 1986). Di perairan sekitar Cairns-Whitsunday, GBR, peledakan populasi A. planci telah menelan biaya AUD 3 juta untuk pengendalian populasi selama setahun pada tahun 2001 (CRC 2003). Disamping itu, jutaan dollar dana juga telah dihabiskan untuk penelitian A. planci selama 17 tahun di GBR.
Di Indonesia, kehadiran A. planci telah dilaporkan sejak tahun 1970-an oleh para peneliti LIPI, misalnya di sekitar Ambon (Soegiarto) dan Kepulauan Seribu (Aziz and Soekarno) (review in Lane 1996). Kedua laporan tersebut menunjukkan adanya A. planci dalam jumlah kecil atau dalam kondisi masih kecil (belum dewasa). Peneliti LIPI lainnya, Darsono dan Sukarno, telah mengamati adanya populasi A. planci di Kepulauan Seribu dari tahun 1991-1993 dan dilaporkan tidak ada peledakan populasi (review in Tomascik et al. 1997). Peledakan populasi baru terjadi pada tahun 1995, yang dilaporkan di dalam suatu seminar, tetapi tidak dalam suatu publikasi. Publikasi ilmiah tentang kerusakan terumbu karang Indonesia akibat A. planci baru dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi di Kepulauan Banggai oleh Lane (1996). Pada tahun 1996 juga dijumpai adanya pemangsaan karang oleh A. planci yang menghabiskan hampir seluruh karang di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat, dan Pantai Bama, Taman Nasional Baluran (Bachtiar, unpublished data). Pada tahun 2005, peledakan populasi (outbreak) bintang-laut A. planci dilaporkan terjadi di Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan (Yusuf 2008).
Makalah ini dimaksudkan untuk menghimpun informasi yang tersebar di dalam jurnal dan buku tentang biologi dan ekologi bintang laut A. planci dan mencari solusi pengelolaannya. Rendahnya jumlah tulisan tentang A. planci menyebabkan rendahnya kepedulian dan antisipasi ancaman A. planci di dalam rencana pengelolaan terumbu karang. Ketika terjadi peledakan populasi di suatu terumbu karang, sebagian pemerintah dan masyarakat tidak tahu bagaimana cara penangannya.
A. BIOLOGI
1) Taksonomi dan Morfologi
Bintang laut planci dilaporkan pertama kali dari contoh hewan di Indonesia oleh George Rumphius pada tahun 1705, yang 50 tahun kemudian dideskripsikan Linnaeus pada tahun 1758 (Moran 1990, Lane 1996), sehingga diperkirakan A. planci memang merupakan biota asli Indonesia. Genus terdiri atas tiga spesies, dua spesies lainnya adalah A. ellisi dan A. bervipinnus. A. ellisi merupakan bintang laut pemakan karang yang populasinya sangat jarang, hanya dilaporkan di Filippina. A. bervipinnus adalah bintang laut pemakan detritus (sampah organic). Ketiga spesies tersebut mempunyai genetik yang sangat mirip sehingga kadang terjadi hibrid di antara mereka. Di dalam evolusi, A. planci berasal dari A. brevipinnus yang mendapatkan kemampuan untuk memakan karang.
Bintang laut A. planci memiliki nama Indonesia sebagai terjemahan dari nama Inggrisnya ‘mahkota duri’ atau ‘mahkota berduri’. Menyebut atau menulis nama lengkap ‘bintang laut mahkota duri’ dianggap terlalu panjang, maka penulis mengusulkan digunakan nama kependekannya saja ‘BLMD’. Didalam komunikasi ilmiah berbahasa Inggris, para peneliti menggunakan nama ‘COT’ kependekan dari ‘crown of thorns’, sebagai pengganti A. planci. Di luar Indonesia, A. planci mempunyai nama lokal ‘alamea’ (Tonga, Samoa), ‘bula’ (Fiji) dan ‘rrusech’ (Palau).
Struktur tubuh A. planci sama dengan struktur umum dari Asteroidea. Badan berbentuk radial simetris, dengan tubuh mirip cakram bersumbu oral dan aboral yang mempunyai lengan-lengan. Bagian oral (mulut) menghadap ke bawah sedangkan bagian aboral menghadap ke atas. Di bagian aboral terdapat madreporit dan anus. Lubang madreporit berjumlah 6-13, sedangkan lubang anus berjumlah 1-6 buah. Bintang laut A. planci mempunyai lengan antara 8-21 buah. Duri-duri yang beracun berukuran 2-4 cm menghiasi permukaan aboral tubuh cakram dan lengan-lengannya.
Warna tubuh A. planci dapat bervariasi antar lokasi. Di perairan Thailand dan Maladewa (Maldive) warna tubuh biru keunguan, di GBR berwarna merah dan kelabu, sedangkan di Hawaii berwarna hijau dan merah (Moran 1990). Di Indonesia, warna tubuh A. planci merah dan kelabu pada perairan Laut Jawa dan Laut Flores. Di Cocos Island dan Christmas Island (barat daya Jawa), Australia, terdapat dua macam warna A. planci yang menunjukkan tipe Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (Hobbs and Salmond 2008).
1) Taksonomi dan Morfologi
Bintang laut planci dilaporkan pertama kali dari contoh hewan di Indonesia oleh George Rumphius pada tahun 1705, yang 50 tahun kemudian dideskripsikan Linnaeus pada tahun 1758 (Moran 1990, Lane 1996), sehingga diperkirakan A. planci memang merupakan biota asli Indonesia. Genus terdiri atas tiga spesies, dua spesies lainnya adalah A. ellisi dan A. bervipinnus. A. ellisi merupakan bintang laut pemakan karang yang populasinya sangat jarang, hanya dilaporkan di Filippina. A. bervipinnus adalah bintang laut pemakan detritus (sampah organic). Ketiga spesies tersebut mempunyai genetik yang sangat mirip sehingga kadang terjadi hibrid di antara mereka. Di dalam evolusi, A. planci berasal dari A. brevipinnus yang mendapatkan kemampuan untuk memakan karang.
Bintang laut A. planci memiliki nama Indonesia sebagai terjemahan dari nama Inggrisnya ‘mahkota duri’ atau ‘mahkota berduri’. Menyebut atau menulis nama lengkap ‘bintang laut mahkota duri’ dianggap terlalu panjang, maka penulis mengusulkan digunakan nama kependekannya saja ‘BLMD’. Didalam komunikasi ilmiah berbahasa Inggris, para peneliti menggunakan nama ‘COT’ kependekan dari ‘crown of thorns’, sebagai pengganti A. planci. Di luar Indonesia, A. planci mempunyai nama lokal ‘alamea’ (Tonga, Samoa), ‘bula’ (Fiji) dan ‘rrusech’ (Palau).
Struktur tubuh A. planci sama dengan struktur umum dari Asteroidea. Badan berbentuk radial simetris, dengan tubuh mirip cakram bersumbu oral dan aboral yang mempunyai lengan-lengan. Bagian oral (mulut) menghadap ke bawah sedangkan bagian aboral menghadap ke atas. Di bagian aboral terdapat madreporit dan anus. Lubang madreporit berjumlah 6-13, sedangkan lubang anus berjumlah 1-6 buah. Bintang laut A. planci mempunyai lengan antara 8-21 buah. Duri-duri yang beracun berukuran 2-4 cm menghiasi permukaan aboral tubuh cakram dan lengan-lengannya.
Warna tubuh A. planci dapat bervariasi antar lokasi. Di perairan Thailand dan Maladewa (Maldive) warna tubuh biru keunguan, di GBR berwarna merah dan kelabu, sedangkan di Hawaii berwarna hijau dan merah (Moran 1990). Di Indonesia, warna tubuh A. planci merah dan kelabu pada perairan Laut Jawa dan Laut Flores. Di Cocos Island dan Christmas Island (barat daya Jawa), Australia, terdapat dua macam warna A. planci yang menunjukkan tipe Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (Hobbs and Salmond 2008).
2) Pertumbuhan dan Reproduksi
Pertumbuhan A. planci sangat dipengaruhi oleh makanannya. Anakan A. planci yang makan algae mempunyai pertumbuhan sekitar 2,6 mm/bulan, sedangkan yang makan karang mempunyai pertumbuhan sekitar 16,7 mm/bulan (review in Moran 1990). Ketika dewasa, pertumbuhan melambat kembali menjadi sekitar 4,5 mm/bulan. Anakan A. planci yang berukuran kurang dari 10 mm memakan algae, sedangkan yang berukuran 10-160 mm sudah mulai memakan jaringan karang (Moran 1990). Individu dewasa berukuran sekitar 250-400 mm, dengan rekor terbesar adalah 800 mm.
Bintang laut A. planci mempunyai kelamin yang terpisah (berkelamin tunggal), dengan pembuahan eksternal. Rasio kelamin biasanya 1:1 (Moran 1990). Pemijahan terjadi pada musim panas. Di belahan bumi (hemisfer) utara, misalnya Jepang, pemijahan terjadi pada bulan Mei-Agustus. Di belahan bumi selatan, misalnya Australia, pemijahan terjadi pada bulan Nopember-Januari (Moran 1990), atau Desember-April (CRC 2003). Pemijahan berlangsung sekitar 30 menit (Moran 1990). Individu dewasa biasanya bergerombol sebelum pemijahan, dan memijah secara bersama pada saatnya. Ketika seekor betina memijah, maka suatu feromon yang keluar bersama telur akan memicu pemijahan betina lain dan bintang laut jantan yang ada di sekitarnya. Efektivitas feromon dalam memicu pemijahan tetangganya diperkirakan seluas radius 1-2 meter. Pemijahan berjamaah ini sangat penting bagi invertebrata laut untuk meningkatkan peluang terjadinya pembuahan.
Pemijahan invertebrata banyak dipengaruhi oleh fluktuasi musiman suhu air laut. Pada saat ini, kebanyakan penelitian tentang pemijahan invertebrata dilakukan di kawasan yang mempunyai empat musim atau temperata (temperate). Di kawasan tropis, seperti Indonesia, perbedaan suhu air laut antar musim tidak sebesar di kawasan temperata, sehingga musim pemijahan di kawasan tropis dapat berbeda dari kawasan temperata. Karena itu, mengetahui musim pemijahan A. planci di Indonesia merupakan topik yang masih sangat menarik. Apalagi perairan laut Indonesia merupakan transisi antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia.
Fekunditas atau jumlah telur yang dihasilkan betina tergantung pada ukuran atau berat tubuh betina. Betina pemijah biasanya berumur 2-3 tahun, atau ukuran diameter tubuhnya lebih dari 25 cm (CRC 2003). Betina yang dewasa mempunyai ukuran tubuh 500-4000 gram, yang memiliki fekunditas sekitar 4-65 juta telur (Moran 1990). Jumlah telur yang sangat besar memang diperlukan oleh kebanyakan invertebrata laut. Kelulushidupan yang rendah harus diimbangi dengan jumlah telur yang sangat besar, sehingga larva yang selamat menjadi dewasa dapat dipertahankan. Telur A. planci berukuran 200 mikron, sedangkan sperma berukuran sekitar 1-2 mikron (Moran 1990). Ukuran telur dan sperma ini tidak banyak berbeda dengan ukuran umum gamet invertebrata laut.
Pertumbuhan A. planci sangat dipengaruhi oleh makanannya. Anakan A. planci yang makan algae mempunyai pertumbuhan sekitar 2,6 mm/bulan, sedangkan yang makan karang mempunyai pertumbuhan sekitar 16,7 mm/bulan (review in Moran 1990). Ketika dewasa, pertumbuhan melambat kembali menjadi sekitar 4,5 mm/bulan. Anakan A. planci yang berukuran kurang dari 10 mm memakan algae, sedangkan yang berukuran 10-160 mm sudah mulai memakan jaringan karang (Moran 1990). Individu dewasa berukuran sekitar 250-400 mm, dengan rekor terbesar adalah 800 mm.
Bintang laut A. planci mempunyai kelamin yang terpisah (berkelamin tunggal), dengan pembuahan eksternal. Rasio kelamin biasanya 1:1 (Moran 1990). Pemijahan terjadi pada musim panas. Di belahan bumi (hemisfer) utara, misalnya Jepang, pemijahan terjadi pada bulan Mei-Agustus. Di belahan bumi selatan, misalnya Australia, pemijahan terjadi pada bulan Nopember-Januari (Moran 1990), atau Desember-April (CRC 2003). Pemijahan berlangsung sekitar 30 menit (Moran 1990). Individu dewasa biasanya bergerombol sebelum pemijahan, dan memijah secara bersama pada saatnya. Ketika seekor betina memijah, maka suatu feromon yang keluar bersama telur akan memicu pemijahan betina lain dan bintang laut jantan yang ada di sekitarnya. Efektivitas feromon dalam memicu pemijahan tetangganya diperkirakan seluas radius 1-2 meter. Pemijahan berjamaah ini sangat penting bagi invertebrata laut untuk meningkatkan peluang terjadinya pembuahan.
Pemijahan invertebrata banyak dipengaruhi oleh fluktuasi musiman suhu air laut. Pada saat ini, kebanyakan penelitian tentang pemijahan invertebrata dilakukan di kawasan yang mempunyai empat musim atau temperata (temperate). Di kawasan tropis, seperti Indonesia, perbedaan suhu air laut antar musim tidak sebesar di kawasan temperata, sehingga musim pemijahan di kawasan tropis dapat berbeda dari kawasan temperata. Karena itu, mengetahui musim pemijahan A. planci di Indonesia merupakan topik yang masih sangat menarik. Apalagi perairan laut Indonesia merupakan transisi antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia.
Fekunditas atau jumlah telur yang dihasilkan betina tergantung pada ukuran atau berat tubuh betina. Betina pemijah biasanya berumur 2-3 tahun, atau ukuran diameter tubuhnya lebih dari 25 cm (CRC 2003). Betina yang dewasa mempunyai ukuran tubuh 500-4000 gram, yang memiliki fekunditas sekitar 4-65 juta telur (Moran 1990). Jumlah telur yang sangat besar memang diperlukan oleh kebanyakan invertebrata laut. Kelulushidupan yang rendah harus diimbangi dengan jumlah telur yang sangat besar, sehingga larva yang selamat menjadi dewasa dapat dipertahankan. Telur A. planci berukuran 200 mikron, sedangkan sperma berukuran sekitar 1-2 mikron (Moran 1990). Ukuran telur dan sperma ini tidak banyak berbeda dengan ukuran umum gamet invertebrata laut.
3) Siklus Hidup
Siklus hidup A. planci pada prinsipnya sama persis dengan pola siklus hidup hewan Asteroidea (bintang laut) yang lainnya. Zigot yang terjadi pada saat pemijahan berkembang melalui proses-proses blastulasi dan gastrulasi yang kemudian memasuki tahapan dua fase larva secara berurutan, yaitu bipinnaria dan brachiolaria. Kedua larva tersebut hidup sebagai plankton sehingga pergerakannya mengikuti arah arus. Larva brachiolaria yang matang mempunyai daya apung negatif sehingga turun ke dasar laut yang biasanya di kawasan terumbu karang. Diduga larva brachiolaria menggunakan ‘aroma’ alga berkapur sebagai tanda-tanda untuk turun menempel pada terumbu karang. Setelah menempel di dasar terumbu, dimulailah kehidupan sebagai bentos bagi A. planci. Penempelan larva A. planci kemungkinan terjadi di tempat yang dalam karena pemangsaan karang oleh A. planci biasanya dimulai dari karang di tempat yang dalam.
Periode planktonis dari A. planci berlangsung sekitar dua atau tiga minggu. Makanan larva planktonis A. planci terdiri dari fitoplanton (khususnya pikoplankton), bakteri dan bahan organik terlarut (Okaji et al. 1997). Periode planktonis larva brachiolaria diakhiri dengan berkembangnya lima lengan melalui metamofosis dan menempel di dasar terumbu. Metamorfosis tersebut terjadi setelah hari ke-12 (Olson 1985). Ukuran diameter A. planci pada saat terjadi penempelan sekitar 0,5-1 mm atau 500-1000 mikron. Anakan A. planci yang sudah menempel di terumbu mendapatkan makanan dari alga berkapur. Pada umur sekitar 4-6 bulan, ketika ukuran tubuhnya mencapai 10 mm, A. planci merubah makanannya menjadi pemangsa karang dan mampu tumbuh jauh lebih cepat (review in Keesing and Halford 1992).
Laju mortalitas A. planci sangat tinggi, sebagaimana invertebrata laut lainnya. Laju mortalitas akan berkurang dengan bertambahnya ukuran tubuh A. planci. Pada kotak percobaan di lapangan, laju mortalitas anakan A. planci pada ukuran 1,1 cm atau umur satu bulan adalah 6,49% per hari (Keesing and Halford 1992). Laju mortalitas tersebut menurun pada hewan yang lebih besar menjadi 1,24% per hari pada ukuran 2,7 mm (4 bulan) dan menjadi 0,45% per hari pada ukuran 5,5 mm (7 bulan). Di dalam kajian Moran (1990) disebutkan bahwa laju mortalitas A. planci pada umur 7-23 bulan adalah 99,3%, atau sekitar 1,08 % per hari, sedangkan laju mortalitas A. planci antara umur 22-34 bulan adalah 75%, atau sekitar 0,39% per hari. Ketiga penelitian tersebut dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi, sehingga faktor kepadatan populasi dapat berpengaruh.
Siklus hidup A. planci pada prinsipnya sama persis dengan pola siklus hidup hewan Asteroidea (bintang laut) yang lainnya. Zigot yang terjadi pada saat pemijahan berkembang melalui proses-proses blastulasi dan gastrulasi yang kemudian memasuki tahapan dua fase larva secara berurutan, yaitu bipinnaria dan brachiolaria. Kedua larva tersebut hidup sebagai plankton sehingga pergerakannya mengikuti arah arus. Larva brachiolaria yang matang mempunyai daya apung negatif sehingga turun ke dasar laut yang biasanya di kawasan terumbu karang. Diduga larva brachiolaria menggunakan ‘aroma’ alga berkapur sebagai tanda-tanda untuk turun menempel pada terumbu karang. Setelah menempel di dasar terumbu, dimulailah kehidupan sebagai bentos bagi A. planci. Penempelan larva A. planci kemungkinan terjadi di tempat yang dalam karena pemangsaan karang oleh A. planci biasanya dimulai dari karang di tempat yang dalam.
Periode planktonis dari A. planci berlangsung sekitar dua atau tiga minggu. Makanan larva planktonis A. planci terdiri dari fitoplanton (khususnya pikoplankton), bakteri dan bahan organik terlarut (Okaji et al. 1997). Periode planktonis larva brachiolaria diakhiri dengan berkembangnya lima lengan melalui metamofosis dan menempel di dasar terumbu. Metamorfosis tersebut terjadi setelah hari ke-12 (Olson 1985). Ukuran diameter A. planci pada saat terjadi penempelan sekitar 0,5-1 mm atau 500-1000 mikron. Anakan A. planci yang sudah menempel di terumbu mendapatkan makanan dari alga berkapur. Pada umur sekitar 4-6 bulan, ketika ukuran tubuhnya mencapai 10 mm, A. planci merubah makanannya menjadi pemangsa karang dan mampu tumbuh jauh lebih cepat (review in Keesing and Halford 1992).
Laju mortalitas A. planci sangat tinggi, sebagaimana invertebrata laut lainnya. Laju mortalitas akan berkurang dengan bertambahnya ukuran tubuh A. planci. Pada kotak percobaan di lapangan, laju mortalitas anakan A. planci pada ukuran 1,1 cm atau umur satu bulan adalah 6,49% per hari (Keesing and Halford 1992). Laju mortalitas tersebut menurun pada hewan yang lebih besar menjadi 1,24% per hari pada ukuran 2,7 mm (4 bulan) dan menjadi 0,45% per hari pada ukuran 5,5 mm (7 bulan). Di dalam kajian Moran (1990) disebutkan bahwa laju mortalitas A. planci pada umur 7-23 bulan adalah 99,3%, atau sekitar 1,08 % per hari, sedangkan laju mortalitas A. planci antara umur 22-34 bulan adalah 75%, atau sekitar 0,39% per hari. Ketiga penelitian tersebut dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi, sehingga faktor kepadatan populasi dapat berpengaruh.
B. EKOLOGI
1) Habitat
Bintang laut A. planci merupakan penghuni terumbu karang yang alami. Anakan A. planci yang masih kecil hidup di antara pecahan karang di dasar terumbu. Mereka memakan alga berkapur yang tumbuh pada pecahan karang tersebut. Bintang laut A. planci yang berukuran kecil (40 cm) mencari makan pada siang hari (CRC 2003). Pada siang hari, A. planci kecil bersembunyi dari pemangsa di bawah karang meja atau di celah-celah terumbu, sehingga survey populasi A. planci tidak menemukan individu berukuran kecil. Separuh dari waktu hidup A. planci digunakan untuk makan, sehingga dampaknya terhadap terumbu karang dapat sangat besar ketika populasinya besar.
Di dalam eksperimen, bintang laut A. planci dewasa mempunyai preferensi makanan karang Pocilloporidae, Acroporidae dan Favidae; tetapi pada kondisi lapang preferensi dapat berubah berdasarkan kondisi turbulensi (review in Sorokin 1995). Karang Poritidae merupakan jenis yang dihindari oleh A. planci. Walaupun demikian, dalam kepadatan yang tinggi A. planci dapat memangsa semua jenis karang termasuk Poritidae. Koloni karang Pocilloporidae yang mempunyai hewan simbion kepiting Trapezia atau udang Alpheus biasanya dihindari oleh A. planci.
Mereka memangsa karang dengan cara membuat jaringan karang menjadi bubur dan menyedotnya. Ketika sedang memangsa karang A. planci mengeluarkan perutnya lewat mulut dan menempelkannya langsung pada karang. Enzim-enzim pencernaan yang terdapat di dinding perut membuat jaringan karang yang terkena melunak menjadi semacam bubur. Ketika perutnya yang terbalik tersebut masuk kembali ke dalam tubuh, ikut masuk pula bubur yang telah dicernanya. Karang yang menjadi mangsa A. planci mati berdiri, dengan kerangka yang tidak berubah.
Kerangka karang yang mati tersebut menjadi tempat penempelan larva dan spora penghuni terumbu karang lainnya. Dengan pemangsaan tersebut, A. planci berjasa memberi kesempatan kepada hewan baru untuk tumbuh menempel di terumbu karang yang sudah padat. Pemangsaan karang oleh A. planci yang dalam populasi rendah bersifat selektif dengan preferensi pada Pocilloporidae dan Acroporidae yang tumbuh cepat dan cenderung mendominasi ruang di terumbu. Pemangsaan selektif ini mempunyai dampak ekologi yang positif karena memberikan bantuan kepada karang yang tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu tersebut. Tetapi jika populasi A. planci melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, maka yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang.
1) Habitat
Bintang laut A. planci merupakan penghuni terumbu karang yang alami. Anakan A. planci yang masih kecil hidup di antara pecahan karang di dasar terumbu. Mereka memakan alga berkapur yang tumbuh pada pecahan karang tersebut. Bintang laut A. planci yang berukuran kecil (40 cm) mencari makan pada siang hari (CRC 2003). Pada siang hari, A. planci kecil bersembunyi dari pemangsa di bawah karang meja atau di celah-celah terumbu, sehingga survey populasi A. planci tidak menemukan individu berukuran kecil. Separuh dari waktu hidup A. planci digunakan untuk makan, sehingga dampaknya terhadap terumbu karang dapat sangat besar ketika populasinya besar.
Di dalam eksperimen, bintang laut A. planci dewasa mempunyai preferensi makanan karang Pocilloporidae, Acroporidae dan Favidae; tetapi pada kondisi lapang preferensi dapat berubah berdasarkan kondisi turbulensi (review in Sorokin 1995). Karang Poritidae merupakan jenis yang dihindari oleh A. planci. Walaupun demikian, dalam kepadatan yang tinggi A. planci dapat memangsa semua jenis karang termasuk Poritidae. Koloni karang Pocilloporidae yang mempunyai hewan simbion kepiting Trapezia atau udang Alpheus biasanya dihindari oleh A. planci.
Mereka memangsa karang dengan cara membuat jaringan karang menjadi bubur dan menyedotnya. Ketika sedang memangsa karang A. planci mengeluarkan perutnya lewat mulut dan menempelkannya langsung pada karang. Enzim-enzim pencernaan yang terdapat di dinding perut membuat jaringan karang yang terkena melunak menjadi semacam bubur. Ketika perutnya yang terbalik tersebut masuk kembali ke dalam tubuh, ikut masuk pula bubur yang telah dicernanya. Karang yang menjadi mangsa A. planci mati berdiri, dengan kerangka yang tidak berubah.
Kerangka karang yang mati tersebut menjadi tempat penempelan larva dan spora penghuni terumbu karang lainnya. Dengan pemangsaan tersebut, A. planci berjasa memberi kesempatan kepada hewan baru untuk tumbuh menempel di terumbu karang yang sudah padat. Pemangsaan karang oleh A. planci yang dalam populasi rendah bersifat selektif dengan preferensi pada Pocilloporidae dan Acroporidae yang tumbuh cepat dan cenderung mendominasi ruang di terumbu. Pemangsaan selektif ini mempunyai dampak ekologi yang positif karena memberikan bantuan kepada karang yang tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu tersebut. Tetapi jika populasi A. planci melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, maka yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang.
2) Peledakan populasi (outbreak)
Kepadatan populasi A. planci pada terumbu karang yang normal sekitar 6-20 individu per km2 (Moran 1990). Kepadatan tersebut setara dengan 0,06-0,2 individu dewasa per hektar. Terumbu karang yang sehat, dengan tutupan karang 40-50%, dianggap dapat menampung A. planci 20-30 ekor per hektar tanpa kerusakan yang berarti (CRC 2003). Pada saat terjadi peledakan populasi kepadatan A. planci sekitar 20,6 individu kecil per m2, atau 158 individu dewasa per 314 m2, atau 1150 individu dewasa per 20 menit renang orang dewasa (Moran 1990). Kepadatan saat peledakan populasi tersebut setara dengan 0,5 individu dewasa per m2 atau 5032 individu dewasa per hektar.
Jumlah bintang laut A. planci yang dapat ditemukan pada saat terjadi peledakan populasi mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan pada satu terumbu karang. Di Rukyu Island, misalnya, 13 juta bintang laut A. planci dibunuh ketika terjadi peledakan populasi tahun 1970-1983. Di Green Island, kelimpahan populasi diperkirakan tiga juta individu ketika peledakan populasi tahun 1979/80. Peledakan populasi A. planci di Bootless Bay, Papua New Guinea, dilaporkan mempunyai kepadatan populasi sekitar satu individu per m2 (Baine 2006). Ukuran diameter tubuh populasi A. planci tersebut bervariasi antara 3-46 cm, dengan didominasi anggota populasi ukuran diameter 15-20 cm dan 20-25 cm. Di Pulau Kapoposang, kepadatan saat terjadi peledakan populasi mencapai 120 individu per 100 m2, atau setara dengan 1,2 individu per m2 (Yusuf 2008).
Berdasarkan jejak duri A. planci pada sedimen, diperkirakan bahwa A. planci sudah ada di terumbu karang the Great Barrier Reefs (GBR) sejak 3000-6000 tahun yang lalu. Dari 223 terumbu karang yang disurvei pada tahun 1985-1986 di GBR, peledakan populasi A. planci terjadi pada 62 terumbu atau 27% (Moran et al. 1988). Terumbu di paparan tengah mempunyai proporsi peledakan populasi lebih tinggi daripada paparan luar, sedangkan terumbu paparan dalam hanya sedikit yang menjadi sampel penelitian sehingga kurang terwakili. Peledakan populasi sebagian besar terjadi di antara Townsville dengan Lizard Island. Besarnya ukuran GBR (sekitar 2900 buah terumbu) membuat peledakan populasi A. planci dapat terjadi setiap tahun, dengan lokasi terumbu yang berbeda atau berulang kembali.
Terjadinya peledakan populasi dapat melalui dua mekanisme: a) sebuah rekrutmen besar yang sukses sehingga populasi mempunyai komposisi ukuran tubuh yang relative seragam, b) melalui akumulasi rekrutmen secara bertahap sehingga populasi terdiri atas beberapa ukuran (kohort). Pratchett (2005) melaporkan bahwa di Lizard Island (GBR, Australia) ukuran tubuh A. planci bervariasi antara 11-62 cm diameter. Kelimpahan populasi juga meningkat secara bertahap hingga mencapai kondisi stabil pada kelimpahan 1 (satu) ekor per 200 m2. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa peledakan populasi yang terjadi di Lizard Island tahun 1996 mengikuti mekanisme yang kedua, yaitu rekrutmen A. planci terjadi secara bertahap dan akumulatif.
Setelah terjadinya peledakan populasi dan komunitas karang habis termakan, populasi A. planci menurun secara drastis. Penurunan populasi secara drastis biasanya terjadi dalam kurun waktu 1-5 tahun (reviewed in Pratchett 2005). Penurunan populasi tersebut diduga disebabkan karena penyakit (Pratchett 1999), kekurangan makanan atau penuaan.
Moran (1992) mengamati pembusukan bintang laut A. planci dewasa, yang telah dibuat lapar selama dua bulan dan dimatikan dengan perendaman dalam air tawar, di habitatnya. Pada hari pertama, beberapa jam setelah penempatan A. planci mati, bangkai tersebut segera dimakan oleh ikan atau benthos pemakan bangkai. Pembusukan bangkai terjadi pada tiga hari pertama. Pada hari keempat pembusukan oleh bakteri baru terlihat jelas. Hewan-hewan yang paling banyak aktivitas (> 10 kali) memakan bangkai A. planci adalah ikan-ikan Chaetodon auriga dan Arotron nigropunctatus, dan Cryptocentrus sp. Bintang laut A. planci juga tercatat sebagai pemakan bangkai kawannya, walaupun hanya sekali saja.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Moran (1992) berspekulasi bahwa ketika karang yang menjadi makanan utamanya telah habis dikonsumsi, A. planci yang kelaparan diduga akan mencari terumbu karang yang baru dengan mengandalkan tanda-tanda ‘aroma’ karang dari air laut. Individu A. planci dewasa mampu bergerak dengan kecepatan 20 m per jam. Karena mereka tidak mampu bergerak cukup cepat untuk menyeberangi selat antar terumbu, maka mereka banyak mati dan membusuk dalam perjalanan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya banyak A. planci berserakan pada dasar laut berpasir di kedalaman 30-50 meter.
Kepadatan populasi A. planci pada terumbu karang yang normal sekitar 6-20 individu per km2 (Moran 1990). Kepadatan tersebut setara dengan 0,06-0,2 individu dewasa per hektar. Terumbu karang yang sehat, dengan tutupan karang 40-50%, dianggap dapat menampung A. planci 20-30 ekor per hektar tanpa kerusakan yang berarti (CRC 2003). Pada saat terjadi peledakan populasi kepadatan A. planci sekitar 20,6 individu kecil per m2, atau 158 individu dewasa per 314 m2, atau 1150 individu dewasa per 20 menit renang orang dewasa (Moran 1990). Kepadatan saat peledakan populasi tersebut setara dengan 0,5 individu dewasa per m2 atau 5032 individu dewasa per hektar.
Jumlah bintang laut A. planci yang dapat ditemukan pada saat terjadi peledakan populasi mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan pada satu terumbu karang. Di Rukyu Island, misalnya, 13 juta bintang laut A. planci dibunuh ketika terjadi peledakan populasi tahun 1970-1983. Di Green Island, kelimpahan populasi diperkirakan tiga juta individu ketika peledakan populasi tahun 1979/80. Peledakan populasi A. planci di Bootless Bay, Papua New Guinea, dilaporkan mempunyai kepadatan populasi sekitar satu individu per m2 (Baine 2006). Ukuran diameter tubuh populasi A. planci tersebut bervariasi antara 3-46 cm, dengan didominasi anggota populasi ukuran diameter 15-20 cm dan 20-25 cm. Di Pulau Kapoposang, kepadatan saat terjadi peledakan populasi mencapai 120 individu per 100 m2, atau setara dengan 1,2 individu per m2 (Yusuf 2008).
Berdasarkan jejak duri A. planci pada sedimen, diperkirakan bahwa A. planci sudah ada di terumbu karang the Great Barrier Reefs (GBR) sejak 3000-6000 tahun yang lalu. Dari 223 terumbu karang yang disurvei pada tahun 1985-1986 di GBR, peledakan populasi A. planci terjadi pada 62 terumbu atau 27% (Moran et al. 1988). Terumbu di paparan tengah mempunyai proporsi peledakan populasi lebih tinggi daripada paparan luar, sedangkan terumbu paparan dalam hanya sedikit yang menjadi sampel penelitian sehingga kurang terwakili. Peledakan populasi sebagian besar terjadi di antara Townsville dengan Lizard Island. Besarnya ukuran GBR (sekitar 2900 buah terumbu) membuat peledakan populasi A. planci dapat terjadi setiap tahun, dengan lokasi terumbu yang berbeda atau berulang kembali.
Terjadinya peledakan populasi dapat melalui dua mekanisme: a) sebuah rekrutmen besar yang sukses sehingga populasi mempunyai komposisi ukuran tubuh yang relative seragam, b) melalui akumulasi rekrutmen secara bertahap sehingga populasi terdiri atas beberapa ukuran (kohort). Pratchett (2005) melaporkan bahwa di Lizard Island (GBR, Australia) ukuran tubuh A. planci bervariasi antara 11-62 cm diameter. Kelimpahan populasi juga meningkat secara bertahap hingga mencapai kondisi stabil pada kelimpahan 1 (satu) ekor per 200 m2. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa peledakan populasi yang terjadi di Lizard Island tahun 1996 mengikuti mekanisme yang kedua, yaitu rekrutmen A. planci terjadi secara bertahap dan akumulatif.
Setelah terjadinya peledakan populasi dan komunitas karang habis termakan, populasi A. planci menurun secara drastis. Penurunan populasi secara drastis biasanya terjadi dalam kurun waktu 1-5 tahun (reviewed in Pratchett 2005). Penurunan populasi tersebut diduga disebabkan karena penyakit (Pratchett 1999), kekurangan makanan atau penuaan.
Moran (1992) mengamati pembusukan bintang laut A. planci dewasa, yang telah dibuat lapar selama dua bulan dan dimatikan dengan perendaman dalam air tawar, di habitatnya. Pada hari pertama, beberapa jam setelah penempatan A. planci mati, bangkai tersebut segera dimakan oleh ikan atau benthos pemakan bangkai. Pembusukan bangkai terjadi pada tiga hari pertama. Pada hari keempat pembusukan oleh bakteri baru terlihat jelas. Hewan-hewan yang paling banyak aktivitas (> 10 kali) memakan bangkai A. planci adalah ikan-ikan Chaetodon auriga dan Arotron nigropunctatus, dan Cryptocentrus sp. Bintang laut A. planci juga tercatat sebagai pemakan bangkai kawannya, walaupun hanya sekali saja.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Moran (1992) berspekulasi bahwa ketika karang yang menjadi makanan utamanya telah habis dikonsumsi, A. planci yang kelaparan diduga akan mencari terumbu karang yang baru dengan mengandalkan tanda-tanda ‘aroma’ karang dari air laut. Individu A. planci dewasa mampu bergerak dengan kecepatan 20 m per jam. Karena mereka tidak mampu bergerak cukup cepat untuk menyeberangi selat antar terumbu, maka mereka banyak mati dan membusuk dalam perjalanan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya banyak A. planci berserakan pada dasar laut berpasir di kedalaman 30-50 meter.
3) Interaksi dengan Biota Lain
Bintang laut A. planci, yang merupakan pemangsa karang yang berbahaya, merupakan mangsa dari sejumlah ikan dan bentos lainnya. Sejumlah karang dan ikan Chromis dimidiatus merupakan pemangsa dari larva A. planci (Moran 1990). Larva A. planci memang secara morfologi tidak berbeda dengan larva invertebrata lainnya, sehingga semua hewan planktivora dapat memangsa larva A. planci. Setelah larva A. planci mengalami metamorphosis, sebagian karang masih dapat memangsanya ketika ukurannya masih sangat kecil. Kepiting dari famili Xanthidae juga merupakan pemangsa anakan A. planci yang masih kecil. Disamping itu, udang Hymenoptera picta dan lobster Panilurus pencillatus juga merupakan pemangsa anakan kecil A. planci (Moran 1990). Pada tahapan kehidupan berikutnya, setelah duri yang keras menghiasi tubuhnya jumlah pemangsa A. planci semakin sedikit. Pada masa pra-dewasa ini beberapa jenis molluska (siput Charonia tritonis, Cassis cornuta), cacing Pherecardia striata dan ikan Arothron hispidus merupakan pemangsa yang utama dari A. planci (Moran 1990).
Pemangsaan A. planci oleh ikan masih belum didukung oleh bukti yang kuat. Banyak laporan bahwa ikan-ikan tertentu memangsa anakan A. planci, misalnya Pseudobalistes flamimarginatus, Aroton hispidus dan Celinius undulatus; tetapi belum ada pembuktian eksperimental yang mendukung hipotesis tersebut. Sweatmen (1995) melakukan eksperimen pemangsaan anakan A. planci oleh ikan-ikan Lethrinus spp dan Celinius undulatus. Ketika sekumpulan anakan A. planci yang masih kecil (<7 cm) didedahkan pada ikan pemangsa secara semi alami, pemangsaan ikan sangat sedikit. Ketika pendedahan tersebut dilakukan secara buatan, ikan pemangsa juga tidak pernah makan semua anakan A. planci. Dari 61 kesempatan memangsa, hanya 8 (13%) kesempatan anakan A. planci dimakan ikan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemangsaan anakan A. planci oleh ikan belum mempunyai bukti yang cukup.
Hewan-hewan yang hidup bersimbiosis dengan karang dapat membantu karang mempertahankan diri dari pemangsaan A. planci. Sebagian besar karang bercabang mempunyai simbion (rekan simbiosis), terutama pada famili Acroporidae dan Pocilloporidae. Simbion karang tersebut meliputi ikan gobi, udang-udangan, dan kepiting. Pratchet (2001) menggunakan eksperimen untuk menentukan simbion mana yang paling membantu karang dalam menghadapi pemangsaan A. planci pada enam spesies karang. Dia melaporkan bahwa diantara keenam karang tersebut A. planci paling banyak memangsa Acropora gemmifera. Ketika simbion karang dihilangkan, A. planci tidak mempunyai preferensi jenis karang di dalam pemangsaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kehadiran simbion mempengaruhi preferensi pemangsaan A. planci. Diantara simbion karang yang diuji, kepiting Trapezia terbukti sangat penting untuk melawan pemangsaan A. planci.
Hingga saat ini, belum ada pesaing (competitor) A. planci dalam memangsa karang. Pemangsa karang lain yang ganas adalah siput Drupella spp. (Muricidae). Tetapi kedua pembunuh utama karang tersebut belum pernah dilaporkan melakukan pemangsaan massal yang besar secara bersama-sama.
Bintang laut A. planci, yang merupakan pemangsa karang yang berbahaya, merupakan mangsa dari sejumlah ikan dan bentos lainnya. Sejumlah karang dan ikan Chromis dimidiatus merupakan pemangsa dari larva A. planci (Moran 1990). Larva A. planci memang secara morfologi tidak berbeda dengan larva invertebrata lainnya, sehingga semua hewan planktivora dapat memangsa larva A. planci. Setelah larva A. planci mengalami metamorphosis, sebagian karang masih dapat memangsanya ketika ukurannya masih sangat kecil. Kepiting dari famili Xanthidae juga merupakan pemangsa anakan A. planci yang masih kecil. Disamping itu, udang Hymenoptera picta dan lobster Panilurus pencillatus juga merupakan pemangsa anakan kecil A. planci (Moran 1990). Pada tahapan kehidupan berikutnya, setelah duri yang keras menghiasi tubuhnya jumlah pemangsa A. planci semakin sedikit. Pada masa pra-dewasa ini beberapa jenis molluska (siput Charonia tritonis, Cassis cornuta), cacing Pherecardia striata dan ikan Arothron hispidus merupakan pemangsa yang utama dari A. planci (Moran 1990).
Pemangsaan A. planci oleh ikan masih belum didukung oleh bukti yang kuat. Banyak laporan bahwa ikan-ikan tertentu memangsa anakan A. planci, misalnya Pseudobalistes flamimarginatus, Aroton hispidus dan Celinius undulatus; tetapi belum ada pembuktian eksperimental yang mendukung hipotesis tersebut. Sweatmen (1995) melakukan eksperimen pemangsaan anakan A. planci oleh ikan-ikan Lethrinus spp dan Celinius undulatus. Ketika sekumpulan anakan A. planci yang masih kecil (<7 cm) didedahkan pada ikan pemangsa secara semi alami, pemangsaan ikan sangat sedikit. Ketika pendedahan tersebut dilakukan secara buatan, ikan pemangsa juga tidak pernah makan semua anakan A. planci. Dari 61 kesempatan memangsa, hanya 8 (13%) kesempatan anakan A. planci dimakan ikan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemangsaan anakan A. planci oleh ikan belum mempunyai bukti yang cukup.
Hewan-hewan yang hidup bersimbiosis dengan karang dapat membantu karang mempertahankan diri dari pemangsaan A. planci. Sebagian besar karang bercabang mempunyai simbion (rekan simbiosis), terutama pada famili Acroporidae dan Pocilloporidae. Simbion karang tersebut meliputi ikan gobi, udang-udangan, dan kepiting. Pratchet (2001) menggunakan eksperimen untuk menentukan simbion mana yang paling membantu karang dalam menghadapi pemangsaan A. planci pada enam spesies karang. Dia melaporkan bahwa diantara keenam karang tersebut A. planci paling banyak memangsa Acropora gemmifera. Ketika simbion karang dihilangkan, A. planci tidak mempunyai preferensi jenis karang di dalam pemangsaan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kehadiran simbion mempengaruhi preferensi pemangsaan A. planci. Diantara simbion karang yang diuji, kepiting Trapezia terbukti sangat penting untuk melawan pemangsaan A. planci.
Hingga saat ini, belum ada pesaing (competitor) A. planci dalam memangsa karang. Pemangsa karang lain yang ganas adalah siput Drupella spp. (Muricidae). Tetapi kedua pembunuh utama karang tersebut belum pernah dilaporkan melakukan pemangsaan massal yang besar secara bersama-sama.
C. DAMPAK PEMANGSAAN
Dampak dari peledakan populasi A. planci terhadap pemangsaan komunitas karang sangat besar. Mortalitas karang akibat A. planci sekitar 55%, 70% dan 90% di Rib, John Brewer dan Loadstone Reefs, GBR (Williams 1986); dan 90% di Guam Island (review in Sorokin 1995). Di GBR, rata-rata mortalitas karang akibat serangan A. planci berkisar antara 60-90% (CRC 2003). Berubahnya habitat terumbu karang tersebut dapat mempengaruhi ikan-ikan terumbu. Laju pertumbuhan dan fekunditas ikan dewasa diperkirakan akan menurun, disamping penurunan laju rekrutmen dan kelulushidupan ikan-ikan kecil (Williams 1986).
Di GBR, Australia, pola munculnya peledakan populasi A. planci seperti berjalannya gelombang. Peledakan populasi dimulai dari terumbu di utara, Grren Island dan sekitarnya, kemudian secara perlahan bergerak ke selatan (CRC 2003). Pola gerakan gelombang tersebut bertepatan dengan pola arus air laut pada musim panas (Reichelt et al. 1990), yaitu pada musim pemijahan A. planci. Larva diperkirakan hanyut oleh arus tersebut ke terumbu karang yang berjarak dua minggu dari terumbu asalnya, atau sekitar 180 km. Dua atau tiga tahun berikutnya, larva yang menempel di terumbu kedua sudah menjadi dewasa dan memangsa karang. Populasi yang baru tersebut dapat sangat besar jika berasal dari pemijahan di terumbu yang mengalami peledakan populasi.
Terumbu yang sama dapat mendapat serangan A. planci secara berulang, dengan jeda waktu sekitar 15 tahun. Di Green Island, terumbu karang telah mengalami serangan A. planci yang serius pada tahun 1962, 1979 dan 1999/2000 (CRC 2003). Di Lizard Island, GBR, pemangsaan karang oleh A. planci yang terjadi pada tahun 1982 berulang kembali pada tahun 1996 (Wakeford et al. 2008). Di Rukyu Islands, Jepang, peledakan populasi terjadi pada tahun 1969, 1982/83, 1996 (Katoh and Kashimoto 2003) dan 2004. Terumbu karang di Pulau Menjangan, Bali, mengalami serangan A. planci pada tahun 1996 (I Bachtiar, unpublished data) dan mengalami serangan lagi pada tahun 2008 (IJ Prawira, personal communication).
Pemulihan terumbu karang dari serangan A. planci sangat bervariasi. Pada umumnya terumbu karang sudah pulih kembali persen tutupannya dalam waktu 10-15 tahun, atau lebih (CRC 2003). Berdasarkan data yang tersedia dari tahun 1985 hingga 1996 di GBR, Seymour and Bradbury (1999) membuat sebuah model yang memprediksi bahwa waktu pemulihan terumbu karang dari pemangsaan A. planci pada masa sekarang semakin lama dibandingkan dengan pada masa sebelumnya, walaupun kondisi yang lain tetap sama. Hasil ini menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada ciri kunci struktur komunitas karang akibat peledakan populasi A. planci.
Dampak dari peledakan populasi A. planci terhadap pemangsaan komunitas karang sangat besar. Mortalitas karang akibat A. planci sekitar 55%, 70% dan 90% di Rib, John Brewer dan Loadstone Reefs, GBR (Williams 1986); dan 90% di Guam Island (review in Sorokin 1995). Di GBR, rata-rata mortalitas karang akibat serangan A. planci berkisar antara 60-90% (CRC 2003). Berubahnya habitat terumbu karang tersebut dapat mempengaruhi ikan-ikan terumbu. Laju pertumbuhan dan fekunditas ikan dewasa diperkirakan akan menurun, disamping penurunan laju rekrutmen dan kelulushidupan ikan-ikan kecil (Williams 1986).
Di GBR, Australia, pola munculnya peledakan populasi A. planci seperti berjalannya gelombang. Peledakan populasi dimulai dari terumbu di utara, Grren Island dan sekitarnya, kemudian secara perlahan bergerak ke selatan (CRC 2003). Pola gerakan gelombang tersebut bertepatan dengan pola arus air laut pada musim panas (Reichelt et al. 1990), yaitu pada musim pemijahan A. planci. Larva diperkirakan hanyut oleh arus tersebut ke terumbu karang yang berjarak dua minggu dari terumbu asalnya, atau sekitar 180 km. Dua atau tiga tahun berikutnya, larva yang menempel di terumbu kedua sudah menjadi dewasa dan memangsa karang. Populasi yang baru tersebut dapat sangat besar jika berasal dari pemijahan di terumbu yang mengalami peledakan populasi.
Terumbu yang sama dapat mendapat serangan A. planci secara berulang, dengan jeda waktu sekitar 15 tahun. Di Green Island, terumbu karang telah mengalami serangan A. planci yang serius pada tahun 1962, 1979 dan 1999/2000 (CRC 2003). Di Lizard Island, GBR, pemangsaan karang oleh A. planci yang terjadi pada tahun 1982 berulang kembali pada tahun 1996 (Wakeford et al. 2008). Di Rukyu Islands, Jepang, peledakan populasi terjadi pada tahun 1969, 1982/83, 1996 (Katoh and Kashimoto 2003) dan 2004. Terumbu karang di Pulau Menjangan, Bali, mengalami serangan A. planci pada tahun 1996 (I Bachtiar, unpublished data) dan mengalami serangan lagi pada tahun 2008 (IJ Prawira, personal communication).
Pemulihan terumbu karang dari serangan A. planci sangat bervariasi. Pada umumnya terumbu karang sudah pulih kembali persen tutupannya dalam waktu 10-15 tahun, atau lebih (CRC 2003). Berdasarkan data yang tersedia dari tahun 1985 hingga 1996 di GBR, Seymour and Bradbury (1999) membuat sebuah model yang memprediksi bahwa waktu pemulihan terumbu karang dari pemangsaan A. planci pada masa sekarang semakin lama dibandingkan dengan pada masa sebelumnya, walaupun kondisi yang lain tetap sama. Hasil ini menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada ciri kunci struktur komunitas karang akibat peledakan populasi A. planci.
D. PENGELOLAAN
Pengelolaan terumbu karang untuk mengatasi masalah A. planci seharusnya ditujukan untuk mencegah munculnya peledakan populasi, menangani peledakan populasi yang sedang terjadi, dan mempercepat pemulihan terumbu karang yang rusak oleh A. planci. Pencegahan tiimbulnya peledakan populasi harus menjadi pilihan utama di dalam pengelolaan A. planci. Peledakan populasi A. planci membutuhkan penyebaran larva dalam jumlah yang besar. Jika larva dalam jumlah besar ini dapat tumbuh menjadi dewasa dan menghasilkan larva dari pemijahannya, maka peledakan populasi dapat terjadi pada terumbu karang yang menjadi penerima larva tersebut.
Hingga saat ini penyebab munculnya peledakan populasi A. planci masih belum jelas benar. Dari banyak teori yang ada, tiga teori yang mendapat banyak dukungan para peneliti sebagai berikut CRC (2003):
• Fluktuasi kelimpahan populasi A. planci merupakan fenomena alami, yang tidak terlalu penting untuk dirisaukan.
• Penangkapan pemangsa A. planci untuk konsumsi (ikan, siput) telah menyebabkan terjadinya peledakan populasi, sehingga penangkapan tersebut harus segera dihentikan.
• Pembangunan kawasan pesisir telah menambah nutrient ke dalam laut sehingga menyediakan banyak makanan tambahan bagi larva A. planci dan meningkatkan kelulushidupannya, yang menyebabkan populasi A. planci sangat berlimpah. Maka pengkayaan nutrient tersebut harus mendapat prioritas dalam pengelolaan.
Dua teori yang terakhir perlu dijadikan pijakan di dalam pencegahan terjadinya peledakan populasi A. planci. Kelulushidupan larva yang tinggi membutuhkan suplai makanan dalam jumlah yang besar. Larva A. planci membutuhkan makanan dalam bentuk pikoplankton dan bakteri. Kelimpahan keduanya di terumbu karang umumnya sangat rendah sehingga tidak cukup untuk membuat terjadinya peledakan populasi. Kelimpahan tinggi pikoplankton dan bakteri di perairan laut dapat terjadi jika ada suplai nutrient yang besar dari lumpur dan pupuk yang terbawa limpasan sungai, atau dari pembuangan limbah kota ke laut. Peran premangsa dalam pengendalian populasi A. planci juga sangat penting. Tetapi yang manakah pemangsa utama dari A. planci masih belum sangat jelas.
Dalam hidupnya, seekor betina A. planci dapat menghasilkan 1000 juta (satu milyar) telur (CRC 2003). Jika kelulushidupan larva meningkat dari 1/100 juta menjadi 1/10 juta, maka peningkatan populasi akan bertambah 10 kali lipat. Jadi cara pengelolaan bintang laut A. planci dapat dilakukan dengan mengurangi suplai nutrient ke laut dan penangkapan pemangsanya. Salinitas rendah juga merupakan faktor yang meningkatkan kelulushidupan larva A. planci (CRC 2003), sehingga limpasan air sungai perlu dikurangi melalui reboisasi lahan daratan.
Peledakan populasi yang telah terjadi harus diatasi dengan membunuh sebanyak mungkin individu dewasa agar ridak memproduksi larva yang akan menyebar ke terumbu berikutnya. Pembunuhan A. planci dapat dilakukan dengan membawanya ke darat atau membunuhnya di dalam air. Metode yang pertama, penyelam mengambil A. planci sebanyak-banyaknya dengan menusuk bintang laut tersebut seperti menusuk sate. Tusukan sate bintang laut yang terdiri dari 5-10 individu dibawa ke kapal atau perahu. Cara ini dilakukan berulangkali sehingga kapal penuh dan A. planci tersebut dibunuh di pantai.
Cara yang kedua dilakukan dengan menggunakan suntikan yang didesain khusus. Penyelam menyuntikkan larutan sodium bisulfate atau kupri-sulfat ke dalam tubuh A. planci. Biasanya A. planci akan mati dalam beberapa hari setelah terkena suntikan sodium bisulfat. Dengan cara ini penyelam dapat menyuntik ratusan A. planci dengan sekali penyelaman. Moran (1990) menyatakan metode penyuntikan dengan kupri-sulfat paling efektif, dapat membunuh 132 individu A. planci dalam waktu satu jam.
Walaupun kematian A. planci yang disuntik dapat mencapai 100%, penyuntikan kupri-sulfat dilaporkan tidak berhasil di Grub Reef, GBR, yang terdiri atas 53 takad (patch reefs), seluas 0,64 km2. Selama dua minggu 15 penyelam telah menyuntik 3175 bintang laut. Populasi A. planci memang telah berkurang banyak, tetapi tidak dapat hilang sama sekali. Biaya pengendalian populasi dengan penyuntikan tersebut sangat besar yaitu USD 35 per ekor (Johnson et al. 1990). Di Jepang, biaya penyuntikan bintang laut sekitar JPY 50 per ekor pada tahun 1972-1983 (Yamaguchi 1986).
Pengelolaan terumbu karang untuk mengatasi masalah A. planci seharusnya ditujukan untuk mencegah munculnya peledakan populasi, menangani peledakan populasi yang sedang terjadi, dan mempercepat pemulihan terumbu karang yang rusak oleh A. planci. Pencegahan tiimbulnya peledakan populasi harus menjadi pilihan utama di dalam pengelolaan A. planci. Peledakan populasi A. planci membutuhkan penyebaran larva dalam jumlah yang besar. Jika larva dalam jumlah besar ini dapat tumbuh menjadi dewasa dan menghasilkan larva dari pemijahannya, maka peledakan populasi dapat terjadi pada terumbu karang yang menjadi penerima larva tersebut.
Hingga saat ini penyebab munculnya peledakan populasi A. planci masih belum jelas benar. Dari banyak teori yang ada, tiga teori yang mendapat banyak dukungan para peneliti sebagai berikut CRC (2003):
• Fluktuasi kelimpahan populasi A. planci merupakan fenomena alami, yang tidak terlalu penting untuk dirisaukan.
• Penangkapan pemangsa A. planci untuk konsumsi (ikan, siput) telah menyebabkan terjadinya peledakan populasi, sehingga penangkapan tersebut harus segera dihentikan.
• Pembangunan kawasan pesisir telah menambah nutrient ke dalam laut sehingga menyediakan banyak makanan tambahan bagi larva A. planci dan meningkatkan kelulushidupannya, yang menyebabkan populasi A. planci sangat berlimpah. Maka pengkayaan nutrient tersebut harus mendapat prioritas dalam pengelolaan.
Dua teori yang terakhir perlu dijadikan pijakan di dalam pencegahan terjadinya peledakan populasi A. planci. Kelulushidupan larva yang tinggi membutuhkan suplai makanan dalam jumlah yang besar. Larva A. planci membutuhkan makanan dalam bentuk pikoplankton dan bakteri. Kelimpahan keduanya di terumbu karang umumnya sangat rendah sehingga tidak cukup untuk membuat terjadinya peledakan populasi. Kelimpahan tinggi pikoplankton dan bakteri di perairan laut dapat terjadi jika ada suplai nutrient yang besar dari lumpur dan pupuk yang terbawa limpasan sungai, atau dari pembuangan limbah kota ke laut. Peran premangsa dalam pengendalian populasi A. planci juga sangat penting. Tetapi yang manakah pemangsa utama dari A. planci masih belum sangat jelas.
Dalam hidupnya, seekor betina A. planci dapat menghasilkan 1000 juta (satu milyar) telur (CRC 2003). Jika kelulushidupan larva meningkat dari 1/100 juta menjadi 1/10 juta, maka peningkatan populasi akan bertambah 10 kali lipat. Jadi cara pengelolaan bintang laut A. planci dapat dilakukan dengan mengurangi suplai nutrient ke laut dan penangkapan pemangsanya. Salinitas rendah juga merupakan faktor yang meningkatkan kelulushidupan larva A. planci (CRC 2003), sehingga limpasan air sungai perlu dikurangi melalui reboisasi lahan daratan.
Peledakan populasi yang telah terjadi harus diatasi dengan membunuh sebanyak mungkin individu dewasa agar ridak memproduksi larva yang akan menyebar ke terumbu berikutnya. Pembunuhan A. planci dapat dilakukan dengan membawanya ke darat atau membunuhnya di dalam air. Metode yang pertama, penyelam mengambil A. planci sebanyak-banyaknya dengan menusuk bintang laut tersebut seperti menusuk sate. Tusukan sate bintang laut yang terdiri dari 5-10 individu dibawa ke kapal atau perahu. Cara ini dilakukan berulangkali sehingga kapal penuh dan A. planci tersebut dibunuh di pantai.
Cara yang kedua dilakukan dengan menggunakan suntikan yang didesain khusus. Penyelam menyuntikkan larutan sodium bisulfate atau kupri-sulfat ke dalam tubuh A. planci. Biasanya A. planci akan mati dalam beberapa hari setelah terkena suntikan sodium bisulfat. Dengan cara ini penyelam dapat menyuntik ratusan A. planci dengan sekali penyelaman. Moran (1990) menyatakan metode penyuntikan dengan kupri-sulfat paling efektif, dapat membunuh 132 individu A. planci dalam waktu satu jam.
Walaupun kematian A. planci yang disuntik dapat mencapai 100%, penyuntikan kupri-sulfat dilaporkan tidak berhasil di Grub Reef, GBR, yang terdiri atas 53 takad (patch reefs), seluas 0,64 km2. Selama dua minggu 15 penyelam telah menyuntik 3175 bintang laut. Populasi A. planci memang telah berkurang banyak, tetapi tidak dapat hilang sama sekali. Biaya pengendalian populasi dengan penyuntikan tersebut sangat besar yaitu USD 35 per ekor (Johnson et al. 1990). Di Jepang, biaya penyuntikan bintang laut sekitar JPY 50 per ekor pada tahun 1972-1983 (Yamaguchi 1986).
E. PENUTUP
Pemangsaan karang oleh A. planci dapat menjadi masalah yang sangat serius pada terumbu karang di Indonesia. Banyaknya banjir dalam lima tahun terakhir menuntut antisipasi kita terhadap tingginya nutrient di laut dan terjadinya peledakan populasi. Perubahan iklim global yang diyakini meningkatkan frekuensi pemutihan karang dan penyakit karang membuat pengelolaan terumbu karang harus dilakukan dengan lebih cermat dan selalu di-‘update’ dengan informasi terkini tentang ekologi terumbu karang.
Penelitian tentang biologi dan ekologi A. planci masih sangat dibutuhkan untuk memahami faktor-faktor penyebab dan pemicu peledakan populasi, serta keterkaitan antar terumbu, dan mencari cara-cara yang lebih murah untuk mengatasi peledakan populasi yang sedang terjadi. Upaya-upaya rehabilitasi dan restorasi yang lebih murah juga perlu dikembangkan untuk mengantisipasi tantangan kerusakan terumbu karang di era pemanasan global.
Pemangsaan karang oleh A. planci dapat menjadi masalah yang sangat serius pada terumbu karang di Indonesia. Banyaknya banjir dalam lima tahun terakhir menuntut antisipasi kita terhadap tingginya nutrient di laut dan terjadinya peledakan populasi. Perubahan iklim global yang diyakini meningkatkan frekuensi pemutihan karang dan penyakit karang membuat pengelolaan terumbu karang harus dilakukan dengan lebih cermat dan selalu di-‘update’ dengan informasi terkini tentang ekologi terumbu karang.
Penelitian tentang biologi dan ekologi A. planci masih sangat dibutuhkan untuk memahami faktor-faktor penyebab dan pemicu peledakan populasi, serta keterkaitan antar terumbu, dan mencari cara-cara yang lebih murah untuk mengatasi peledakan populasi yang sedang terjadi. Upaya-upaya rehabilitasi dan restorasi yang lebih murah juga perlu dikembangkan untuk mengantisipasi tantangan kerusakan terumbu karang di era pemanasan global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar